Saturday 10 October 2015

Cegukan (singultus)

Cegukan (singultus) adalah kontraksi otot-otot interkosta dan diafragma yang berulang, tidak teratur, di luar kemauan. Kontraksi otot menghasilkan tarikan napas spontan dan tiba-tiba, berakhir dengan penutupan glotis (pangkal tenggorok), menimbulkan bunyi khas cegukan, yang terkait erat dengan perlambatan denyut jantung. Ini berlangsung relatif konstan, umumnya sekitar 4 hingga 60 kali per menit.

Berdasarkan durasi atau lamanya, cegukan dibagi menjadi tiga. Berlangsung hingga 48 jam diistilahkan sebagai "hiccup bout", jika terjadi lebih lama dari 48 jam hingga satu bulan, dinamakan cegukan persisten. Jika dialami seseorang lebih dari satu bulan disebut dengan cegukan membandel (intractable).

Cegukan dapat dialami oleh siapapun, usia berapapun, namun demikian lebih sering oleh pria dewasa. Biasanya sering terjadi bersamaan dengan gangguan atau penyakit tertentu, seperti gagal ginjal kronis, penyakit pembuluh darah (vaskuler), keadaan setelah operasi, penyakit sistem saraf pusat, ulkus duodenum (luka di usus dua belas jari), dan refluks esofagitis (radang kerongkongan akibat membaliknya asam lambung).

Cegukan yang menetap dan membandel juga dialami oleh 1-9 % penderita kangker. Peristiwa ini dapat memicu terjadinya dehidrasi, insomnia, kelelahan, malnutrisi, penurunan berat badan, penurunan kualitas hidup, stres mental, dsb. Bila tidak diobati oleh dokter, maka cegukan membandel dapat berlanjut ke gangguan tidur, penurunan kemampuan kognitif, kelelahan yang amat, cemas, dan depresi. (gemmalush.blogspot)

Wednesday 7 October 2015

Nobel dan Revitalisasi PT (Lanjutan)

Dunia pendidikan tinggi (PT) harus direvitalisasi. PT harus diperbarui, bukan sekedar "pabrik sarjana", menerima mahasiswa sebanyak mungkin, dan membangun fasilitas fisik. PT mesti luwes dan tidak terdikte oleh kebutuhan pasar. PT harus menjadi lembaga pendidikan yang merupakan bagian dari kebudayaan bangsa.

Razia dari Kemenristek Dikti kepada PT yang mengeluarkan ijazah bodong membuktikan rendahnya etika dan etos bangsa ini. Banyak perguruan tinggi (termasuk negeri sekalipun) menjadi lembaga pencetak ijazah dan bukan lembaga pengembang ilmu. Perguruan tinggi layaknya pabrik berdasar hukum ekonomi supply-demand, bahkan banyak yang berburu calon mahasiswa sampai ke pelosok-pelosok daerah. Bukan calon mahasiswa yang mencari, tapi perguruan tinggi yang membujuknya.

Rektor seharusnya tidak tenggelam dalam urusan administratif. Berbeda dengan negara-negara maju seperti Amerika. Di sana perguruan tinggi umumnya memiliki "Vice President for the University Development". Tugasnya jauh lebih berat dibanding rektor, bahkan gajinya juga di atas rektor. Tugas dia adalah "mengejar uang" untuk membiayai universitas.

Untuk mengejar uang, universitas harus "laku" di dunia industri. Mereka bersimbiose mutualisme, melakukan penelitian dan pengembangan (research and development) untuk menciptakan produk-produk unggulan baru. Misalnya 10 tahun silam, menurut Newsweek, Harvard Medical School mensubsidi 88 sen untuk setiap dolar dana penelitian, Universitas Yale dan John Hopkins 60 sen. Sebaliknya universitas kita, mahasiswa seperti dikebiri, karena ini cara yang paling mudah.

Karena itu, sejak sekarang perlu disiapkan konsep-konsep matang, mulai dari sistem rekrutmen mahasiswa, visi keadilan sosial bagi calon mahasiswa, rekrutmen dosen, sistem administrasi yang canggih, sampai ke visi pengembangan ilmiah yang canggih. Pendidikan tidak dapat lepas dari kepentingan ekonomi-politik, maka PT berkewajiban dan bertanggung jawab memberi nilai kultural yang membawa perubahan masyarakat lebih beradab.

Di samping itu, ada misi untuk mengembangkan pendidikan yang berorientasi dimensi kultural bagi produk-produk teknologi, informasi, dan seni. Dari titik ini diharapkan ada sumbangan nyata yang menguntungkan peradaban. (gemmalush.blogspot)

Nobel dan Revitalisasi PT


(Photo: JONATHAN NACKSTRAND, AFP/Getty Images)


Tiga ilmuwan sepuh meraih hadiah Nobel bidang kedokteran tahun ini. Demikian pengumuman dari Stockholm, Swedia. Ketiga ilmuwan itu sudah terbilang uzur, yakni William Campbell (85 tahun), Satoshi Omura (80), dan Youyou Tu (85). Kita mengetahui, para penerima Nobel umumnya adalah "lansia". Youyou Tu dari China misalnya, mengamati malaria sejak 1950-an. Dari fenomena ini nampak bahwa keseriusan, ketekunan, loyalitas, totalitas, dan orientasi kepuasan batin menjadi kata kunci.

Sekarang bandingkan dengan dunia penelitian kita. Harry Jusron, Kepala Bidang Evaluasi Riset Iptek Masyarakat Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menjelaskan peran ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) tidak begitu tampak dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Fakta ini menunjukkan peran teknologi tinggi untuk menghasilkan devisa jauh tertinggal dari negara tetangga.

Sebagian besar teknologi hasil riset dalam negeri belum banyak dimanfaatkan oleh perusahaan asing di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi di sebagian besar perusahaan dalam negeri. Sebagian besar perusahaan mengambil teknologi yang berasal dari luar negeri, terutama dari Jepang, China, dan Jerman.

Wajar jika Knowledge Economy Index kita berada di urutan 108. Swedia urutan pertama, Singapura 23, Malaysia 48, Thailand 66, Filipina 92, dan Vietnam 104. Data perdagangan manufaktur, yakni selisih antara ekspor terhadap impor , Indonesia hanya enam persen, sementara Filipina 29 %, Singapura 11 %, Thailand 8 %, dan Vietnam 22 %. (gemmalush.blogspot)

Friday 5 September 2014

Hello

I'd love to hear from you. 
Let's type 
gemmalush.blogspot.com.


Flag Counter